"Bisakah Bapak turun?”
Dan kamipun tegang.
Basyir, pemuda 20-an tahun, buta, menyuruh presiden partai turun dari
tempatnya dan datang ke audiens. Hal yang lazim sebetulnya dalam dunia
Islam yang egaliter, dimana pemimpin dan rakyat dianggap sama. Hanya
kita, masyarakat timur yang serba sungkan dan pemalu menganggap itu tak
lazim. Tetapi Basyir memintanya.
Maka pak Luthfi turun, dari meja lesehan yang disediakan sedikit lebih
tinggi dari peserta seniman. Malam itu, Jumat 9 Maret 2012 di Dapur
Desa, seniman dari berbagai aliran berkumpul : reog, barongsay,
pecaksilat, penulis, kritikus, budayawan, geng motor, MIRAI – janapnese
lovers, KLOSS – korean lovers, dll.
Ketika perbicangan hangat berkisar seputar politik, dunia kesenian Jawa
Timur, kritik terhadap pemerintah dan sorotan terhadap
kebijakan-kebijakan partai; permintaan Basyir terasa asing dan tak masuk
akal. Ketika lontaran pertanyaan yang diajukan demikian berbobot dan
membutuhkan penjelasan panjang, permintaan sederhana Basyir sungguh tak
terduga. Kami menyangka ia akan mengajukan permintaan agar orang-orang
sepertinya mendapatkan tempat dan perhatian di tengah masyarakat; entah
dukungan fasilitas atau dana.
Tetapi permintaan Basyir sangat istimewa.
Pak Luthfi mendatangi Basyir.
Mereka berhadapan , diam sejenak. Meski pak Luthfi tersenyum, tetap saja, kami penonton tegang.
”Tahukah Bapak kenapa saya minta Bapak turun?”
Suasana hening. Seluruh mata tertuju pada dua sosok yang berdiri berhadapan.
”Sebab saya tidak bisa lihat Bapak…saya buta.”
Basyir meraba lengan pak Luthfi, meraba bahu dan kepalanya, lalu mencium kening dan rambutnya.
Bukan skenario yang disiapkan panitia. Saya mengenal Basyir sebagai
pemuda yang tulus. Basyir datang demi ikatan silaturrahim. Ketika malam
itu saya hadir sebagai salah satu panitia, pertama yang ditanyakan
Basyir adalah, ” mb Sinta, dimana tempat wudhu? Saya mau sholat Isya…”
Basyir yang buta tertatih menuju kamar mandi, meraba jalan. Dan ia
sholat di depanku.
Basyir, tanpa sungkan, meminta presiden partai datang..
Maka, meledaklah tangis kami.
Mereka berdua berpelukan.
Seorang presiden.
Seorang rakyat.
Saling bersentuhan, menangis, memeluk, membiarkan pundak yang satu sebagai tumpuan beban.
Pasti banyak yang ingin dikisahkan Basyir.
Kepedihannya harus berjuang kuliah dengan sepasang mata yang buta.
Keinginannya untuk menikah yang tertunda. Tetapi seseorang , seperti pak
Luthfi yang memeluk dan mendekapnya, meski sesaat, pasti akan memiliki
makna kehangatan yang membuat tanah ibarat langit. Perhatian tulus
seorang pemimpin, meski sesaat, menggugurkan daun-daun prasangka.
Semoga, kisah ini pun kelak akan terjadi berulang ketika presiden yang
amanah memimpin negeri ini. Ia tidak hanya berdiri di atas panggung,
tetapi turun ke jalan-jalan, menjadikan telinga untuk mendengar, hati
sebagai tempat berkeluh kesah dan sepasang bahu sebagai tempat bersandar
bagi orang-orang lemah.
Basyir.
Seiring mata kami rinai malam itu, sebuah semangat terjalin.
Kau, aku, kita, meski berbeda, insyaAllah…akan bersama berangkat dalam kapal yang menghantarkan negeri ini menuju kejayaan.
sumber :
Sintayudisia Blog