Oleh: Dwitho Frasetiandy
Lebih
75 persen sektor migas kita dikuasai korporasi asing seperti Chevron,
Total E&P 10 persen, Conoco Phillips, Medco Energy dan masih banyak
lagi. Pertamina “hanya” menguasai pasar migas Indonesia 16 persen.
ntervensi
asing terhadap kenaikan harga BBM sangat terasa ketika keluar UU
20/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang yang dibuat Indonesia dengan
IMF melalui skema Letter of Intent (LOI) untuk “membiayai” pembuatan UU
Migas yang lebih berpihak pada investor asing.
Lebih
mencolok dalam UU itu ialah adanya klausul liberalisasi sektor migas di
hilir dan penentuan harga BBM sesuai mekanisme pasar, berarti
“menghilangkan” subsidi negara terhadap rakyat di sektor migas.
Padahal
menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), 21 Desember 2003 atas uji
formil UU 21/2001 tentang Migas, membatalkan pasal 12 ayat 3, pasal 22
ayat 1 dan pasal 28 ayat 2. Yang di mana pasal 28 ayat 2, UU 21/2001 itu
adalah harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar dan dengan tegas
dalam putusannya MK menyatakan pasal ini bertentangan dengan UUD 1945
terutama kepada pasal 33 pasal 2 dan 3.
Intervensi
asing juga terlihat dalam pinjaman luar negeri pemerintah terhadap Bank
Dunia sebesar 141 Juta dolar AS pada 2003 dengan Loan No. 4712-IND
untuk pengembangan dan penguatan sektor energi di Jawa dan Bali.
Di
klausul proyek pinjaman itu tertulis proyek ini untuk mengurangi beban
fiskal dan resiko ekonomi makro dari sektor energi di Indonesia. Tujuan
ini akan dicapai melalui dukungan kepada pemerintah dalam usahanya
menghilangkan subsidi secara bertahap untuk bahan bakar.
Skenario
liberalisasi harga BBM ini kemudian diikuti BPH Migas dengan menyusun
“Pentahapan Regulasi Usaha Bidang BBM” yang memiliki tiga tahapan yaitu
tahap transisi (2001-2005), tahap penyeimbangan (2005-2010) dan tahap
pasar terbuka (2010 - dst).
Di tahap pasar
terbuka bahkan disebutkan harga BBM diserahkan mekanisme pasar dan
pemerintah dapat memberikan bantuan khusus sebagai pengganti subsidi
kepada konsumen tertentu untuk pemakaian BBM jenis tertentu.
Bahkan
Kementerian ESDM dan BPH Migas menegaskan pada 2014-2015 Indonesia
bebas subsidi BBM sehingga harga keekonomian bisa diterapkan.
Beberapa
dokumen tersebut sungguh jelas menggambarkan skenario bahwa memang
subsidi BBM bertahap dicabut pemerintah bukan karena adanya kenaikan
harga minyak dunia dan tidak tepat sasarannya subsidi BBM tapi lebih
karena kuatnya pengaruh dominasi asing dalam kebijakan energi nasional.
Penyebab APBN Jebol?
Salah
satu alasan yang selalu dikemukan pemerintah terkait kenaikan BBM ini
adalah jebolnya APBN karena tingginya harga minyak dunia.
Padahal
sebagai salah satu negara pengekspor minyak seharusnya kita mendapatkan
keuntungan dari naiknya harga minyak dunia, kenyataan berbanding
terbalik.
Dalam APBN 2012 pun asumsinya adalah
penerimaan negara dari sektor migas lebih besar dari pengeluaran sektor
migas (subsidi dan BPH Migas). Penerimaan di sektor migas dalam APBN
2012 mencapai Rp 220,386 triliun sedangkan pengeluaran pada sektor migas
mencapai Rp 200,835 triliun. Artinya ada selisih Rp 19,5 triliun dari
penerimaan dan pengeluaran ini.
Masuk akal
bahwa APBN akan terbebani dengan naiknya harga minyak dunia tapi perlu
diingat subsidi BBM bukan merupakan pengeluaran terbesar APBN kita.
Justru pengeluaran terbesar ada di pembayaran hutang dan biaya
birokrasi. Total pembayaran utang mencapai Rp 322,709 triliun yang
artinya menyedot lebih dari 20 persen APBN 2012 yang mencapai Rp 1.418,5
triliun.
Sedangkan untuk biaya birokrasi
misalnya belanja pegawai dan belanja barang saja jika digabungkan sudah
mencapai Rp 403,9 triliun atau lebih dari 25 persen APBN.
Jadi
jebolnya APBN akibat kenaikan harga minyak dunia adalah hal yang
seharusnya tidak mengganggu keuangan negara secara signifikan.
Alasan
lain kenapa kenaikan BBM ini harus ditolak adalah pemerintah mengatakan
bahwa BBM bersubsidi tidak tepat sasaran. Ini pun masih dapat kita
perdebatkan.
Data Susenas BPS menunjukkan
bahwa 65 persen BBM bersubsidi dikonsumsi masyarakat miskin dan menengah
ke bawah dengan pendapatan kurang dari 2 sampai 4 dolar AS per hari dan
juga dikonsumsi angkutan umum.
Sementara
kalangan menengah ke atas mengkonsumsi delapan persen dari BBM.
Pemerintah mengatakan tidak tepat sasarannya BBM bersubsidi justru
memperlihatkan lemahnya pengawasan dan penegakan yang dilakukan
pemerintah terhadap distribusi BBM sampai ke tingkat daerah. Bukan
dengan alasan subsidi tak tepat lalu dengan mudahnya menaikkan harga BBM
ke mekanisme pasar.
Dominasi asing merupakan
permasalahan penting di bidang energi negara. Penguasaan asing atas
sumber daya alam telah banyak menimbulkan persoalan, tidak hanya bidang
energi tapi juga merambah kepada kehidupan ekonomi, sosial budaya dan
lingkungan hidup. Misalnya, kasus kontrak karya yang tak berkeadilan,
kebocoran subsidi BBM, dan kasus-kasus tambang dan migas lainnya di
seluruh negeri. Itu lah mosaik cerita dari kedaulatan energi di
Indonesia.
Dari sini kita ambil kesimpulan
sederhana bahwa pemerintah melanggar konstitusinya sendiri jika
memberlakukan harga BBM yang diserahkan kepada mekanisme pasar
seharusnya sesuai dengan amanat konstitusi kita.
Manager Kampanye WALHI Kalsel
0 komentar:
Posting Komentar