Rabu, 21 Maret 2012

Oleh: Dwitho Frasetiandy

Lebih 75 persen sektor migas kita dikuasai korporasi asing seperti Chevron, Total E&P 10 persen, Conoco Phillips, Medco Energy dan masih banyak lagi. Pertamina “hanya” menguasai pasar migas Indonesia 16 persen. 

ntervensi asing terhadap kenaikan harga BBM sangat terasa ketika keluar UU 20/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang yang dibuat Indonesia dengan IMF melalui skema Letter of Intent (LOI) untuk “membiayai” pembuatan UU Migas yang lebih berpihak pada investor asing.

Lebih mencolok dalam UU itu ialah adanya klausul liberalisasi sektor migas di hilir dan penentuan harga BBM sesuai mekanisme pasar, berarti “menghilangkan” subsidi negara terhadap rakyat di sektor migas. 

Padahal menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), 21 Desember 2003 atas uji formil UU 21/2001 tentang Migas, membatalkan pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1 dan pasal 28 ayat 2. Yang di mana pasal 28 ayat 2, UU 21/2001 itu adalah harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar dan dengan tegas dalam putusannya MK menyatakan pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 terutama kepada pasal 33 pasal 2 dan 3.

Intervensi asing juga terlihat dalam pinjaman luar negeri pemerintah terhadap Bank Dunia sebesar  141 Juta dolar AS pada 2003 dengan Loan No. 4712-IND untuk pengembangan dan penguatan sektor energi di Jawa dan Bali. 

Di klausul proyek pinjaman itu tertulis proyek ini untuk mengurangi beban fiskal dan resiko ekonomi makro dari sektor energi di Indonesia. Tujuan ini akan dicapai melalui dukungan kepada pemerintah dalam usahanya menghilangkan subsidi secara bertahap untuk bahan bakar. 

Skenario liberalisasi harga BBM ini kemudian diikuti BPH Migas dengan menyusun  “Pentahapan Regulasi Usaha Bidang BBM” yang memiliki tiga tahapan yaitu tahap transisi (2001-2005), tahap penyeimbangan (2005-2010) dan tahap pasar terbuka (2010 - dst).

Di tahap pasar terbuka bahkan disebutkan harga BBM diserahkan mekanisme pasar dan pemerintah dapat memberikan bantuan khusus sebagai pengganti subsidi kepada konsumen tertentu untuk pemakaian BBM jenis tertentu. 

Bahkan Kementerian ESDM dan BPH Migas menegaskan pada 2014-2015 Indonesia bebas subsidi BBM sehingga harga keekonomian bisa diterapkan.

Beberapa dokumen tersebut sungguh jelas menggambarkan skenario bahwa memang subsidi BBM bertahap dicabut pemerintah bukan karena adanya kenaikan harga minyak dunia dan tidak tepat sasarannya subsidi BBM tapi lebih karena kuatnya pengaruh dominasi asing dalam kebijakan energi nasional.

Penyebab APBN Jebol?

Salah satu alasan yang selalu dikemukan pemerintah terkait kenaikan BBM ini adalah jebolnya APBN karena tingginya harga minyak dunia. 

Padahal sebagai salah satu negara pengekspor minyak seharusnya kita mendapatkan keuntungan dari naiknya harga minyak dunia, kenyataan berbanding terbalik. 

Dalam APBN 2012 pun asumsinya adalah penerimaan negara dari sektor migas lebih besar dari pengeluaran sektor migas (subsidi dan BPH Migas). Penerimaan di sektor migas dalam APBN 2012 mencapai Rp 220,386 triliun sedangkan pengeluaran pada sektor migas mencapai Rp 200,835 triliun. Artinya ada selisih Rp 19,5 triliun dari penerimaan dan pengeluaran ini. 

Masuk akal bahwa APBN akan terbebani dengan naiknya harga minyak dunia tapi perlu diingat subsidi BBM bukan merupakan pengeluaran terbesar APBN kita. Justru pengeluaran terbesar ada di pembayaran hutang dan biaya birokrasi. Total pembayaran utang mencapai Rp 322,709 triliun yang artinya menyedot lebih dari 20 persen APBN 2012 yang mencapai Rp 1.418,5 triliun. 

Sedangkan untuk biaya birokrasi misalnya belanja pegawai dan belanja barang saja jika digabungkan sudah mencapai Rp 403,9 triliun atau lebih dari 25 persen APBN.

Jadi jebolnya APBN akibat kenaikan harga minyak dunia adalah hal yang seharusnya tidak mengganggu keuangan negara secara signifikan. 

Alasan lain kenapa kenaikan BBM ini harus ditolak adalah pemerintah mengatakan bahwa BBM bersubsidi tidak tepat sasaran. Ini pun masih dapat kita perdebatkan. 

Data Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen BBM bersubsidi dikonsumsi masyarakat miskin dan menengah ke bawah dengan pendapatan kurang dari 2 sampai 4 dolar AS per hari dan juga dikonsumsi angkutan umum. 

Sementara kalangan menengah ke atas mengkonsumsi delapan persen dari BBM. Pemerintah mengatakan tidak tepat sasarannya BBM bersubsidi justru memperlihatkan lemahnya pengawasan dan penegakan yang dilakukan pemerintah terhadap distribusi BBM sampai ke tingkat daerah. Bukan dengan alasan subsidi tak tepat lalu dengan mudahnya menaikkan harga BBM ke mekanisme pasar.

Dominasi asing merupakan permasalahan penting di bidang energi negara. Penguasaan asing atas sumber daya alam telah banyak menimbulkan persoalan, tidak hanya bidang energi tapi juga merambah kepada kehidupan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup. Misalnya, kasus kontrak karya yang tak berkeadilan, kebocoran subsidi BBM, dan kasus-kasus tambang dan migas lainnya di seluruh negeri. Itu lah mosaik cerita dari kedaulatan energi di Indonesia. 

Dari sini kita ambil kesimpulan sederhana bahwa pemerintah melanggar konstitusinya sendiri jika memberlakukan harga BBM yang diserahkan kepada mekanisme pasar seharusnya sesuai dengan amanat konstitusi kita. 

Manager Kampanye WALHI Kalsel

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!