Senin, 20 Februari 2012


Dalam pengalaman politik di Indonesia performa partai yang paling prima citranya adalah PKS. Bahkan Gubernur DKI (pada waktu itu) Sutiyoso sempat berkelakar, “Demonstrasi PK dapat menjadi objek pariwisata bagi DKI”. Sebuah apresiasi dari seorang Gubernur yang sebenarnya pernah ditolak Laporan Pertanggung Jawahan (LPJ)-nya oleh Fraksi PKS. PK membawa suasana baru lewat kader-­kader maupun jurkamnya. Mungkin mereka banyak belajar dari pe­ngalaman sebelumnya, di mana jurkam parpol bukan menggunakan kampanye sebagai media pembelajaran politik rakyat, tetapi menggunakan kampanye untuk mengumbar janji-janji dan slogan-slogan yang notabene pepesan kosong.
 Untuk itu, PK menyiapkan jurkam yang umumnya para calon anggota legislatif (caleg). Jurkam itu, diberi pelatihan dua hari serta pendidikan praktis kampanye massa, kampanye tatap muka, serta debat pendapat yang dilakukan dengan simulasi-simulasi.
Perspektif mobilisasi sumber daya (re­sources mobilization) dalam melihat teori gerakan sosial dalam kasus PK yang kemudian bertrans­formasi menjadi PKS, menemukan titik relevansinya. Meski demikian, apa yang disebut oleh John D. McCarthy dan Mayer N. Zald sebagai faktor financial atau materi dan teknologi bagi PKS, bukanlah sebuah faktor yang berdiri sendiri. Materi atau financial atau teknologi hanyalah sebuah sufficient condition setelah aspek sumber daya manusianya telah terpenuhi. Dan sejauh ini kiprah mereka adalah berkonsentrasi pada penyediaan human resources yang baik, sehingga diharapkan, dengan sendirinya faktor materi atau financial dan teknologi akan mengikut di belakang sumber daya manusia yang baik itu.[2] Inilah yang menjadi agenda utama PKS selalu partai dakwah dan partai kader, yaitu melakukan kaderisasi. Sehingga kegiatan PKS bukanlah hal yang spontan dan tidak terorganisasi dan peserta gerakan sosial itu adalah manusia-manusia yang rasional.
Seperti sebelumnya dikatakan bahwa parpol modern akan bertanggung jawah atas platform yang telah disosialisasikan sebagai janji politik pada masyarakat saat kampanye sebelum pemi­lihan umum. Maka PKS memberikan gambaran masa depan yang jelas, visi yang kokoh, dan platform yang terarah. Tanpa visi, para pengurus, apalagi kader bisa confuse, bingung dan bertanya-tanya “kita hendak kemana?” Jadi, dengan menetapkan visi ini dimiliki arah yang jelas, direction terhadap sasaran yang hendak diraih. Sebuah perubahan yang diusung ke arah yang lebih baik dari masa sebelumnya. PKS tidak mengharuskan bahwa perubahan itu harus terjadi seketika, mesti berubah seiring dengan bergantinya pemerintahan ini.
PKS ingin perubahan itu terjadi secara gradual, secara bertahap, namun harus tertangkap adanya will, suatu keinginan dan tekad yang kuat untuk berubah. Kita harus bangkitkan kembali optimisme masyarakat untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah. Sehingga rakyat punya harapan, punya hope, yang kemudian mampu memberikan motivasi tinggi bagi mereka.
Haruslah disadari oleh seluruh jajaran pengurus dan kader-kader PKS, bahwa bagi PKS berpolitik ini adalah dalam rangka ibadah, dan bahwa dalam ibadah yang paling penting bukanlah hasil yang didapatkan, melainkan adalah proses yang dijalani apakah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.


[1] Djony Edward, Efek Bola Salju Partai Keadilan Sejahtera, Bandung; Syamil, 2006, hal. 80

[2] Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan, Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Jakarta; Teraju, 2002, hal. 324-325


0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!