Berdasarkan
hikmah-Nya, selain menciptakan potensi ketakwaan, Allah juga memberikan
potensi kemaksiatan dalam diri manusia (QS. Asy-Syam: 8). Jadilah potensi kebaikan dan keburukan secara bersamaan dimiliki setiap manusia.
Tapi ada yang penting diketahui, Allah
Ta'ala telah membekali setiap orang dengan sebuah watak dasar yang
menyatu dalam dirinya, yaitu bahwa pada dasarnya, manusia menyenangi
ketakwaan, keimanan dan ketaatan serta sifat-sifat baik lainnya.
Sementara pada saat yang bersamaan, dirinya secara fitrah menolak
sifat-sifat keburukan dalam berbagai macam bentuknya. Nah, watak dasar
ini jika ditambah dengan dorongan memaksimalkan potensi ketakwaan yang
Allah tambahkan, akan semakin kuat.
Inilah talenta jiwa yang sering
diabaikan. Jika sekarang banyak orang yang sibuk menggali talenta apa
saja untuk mencari bakat-bakat terpendam demi sebuah popularitas dan
mimpi sesaat, namun talenta yang satu ini seringkali dibiarkan
terbengkalai. Padahal, dia nyata-nyata ada dalam diri setiap manusia,
dan menjanjikan kebahagiaan dan kesenangan hakiki.
Sebagaimana umumnya sebuah bakat,
talenta jiwa ini juga membutuhkan adanya pembinaan, perawatan dan
latihan terus menerus dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, hingga
akhirnya terbentuk sebuah pribadi yang sesuai dengan fitrah dan watak
dasarnya, sebagaimana Allah Ta'ala isyaratkan tentang pribadi para
shahabat, sebagai orang-orang yang 'cinta pada keimanan dan terasa indah
dalam hati, serta benci dengan kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan'
(QS. Al-Hujurat: 7)
Dengan kondisi tersebut, maka seseorang
telah memiliki perangkat utama untuk melakukan perbuatan baik dan
menghalau perbuatan buruk. Sebab, jika dalam dirinya telah muncul rasa
cinta terhadap kebaikan dan senang dengan ketaatan, tak akan banyak
berarti baginya tantangan di hadapan dan beratnya cobaan. Demikian pula
halnya dengan keburukan, kefasikan dan kemaksiatan. Jika dalam dirinya
sudah terpatri penolakan dan kebencian, maka rayuan menghanyutkan dan
iming-iming menggiurkan, tak akan menggoyahkan.
Karenanya, ketika seorang shahabat
bernama Wabishah Al-Asady hendak bertanya kepada Rasulullah saw tentang
al-birr (kebaikan) dan al-itsm (dosa), beliau bersabda,
يَا وَابِصَةُ ! اسْتَفْتِ قَلْبَكَ ،
وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ) ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ
إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي
الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ (رواه أحمد)
"Wahai Wabishah, mintalah fatwa dari
hatimu, mintalah fatwa dari jiwamu (beliau ucapkan sebanyak tiga kali).
Kebaikan adalah sesuatu yang menjadikan jiwa dan hati tenang, sedangkan
dosa adalah sesuatu yang dapat mengganggu jiwa dan menimbulkan
keragu-raguan dalam hati, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu
lalu mereka berfatwa lagi (jangan kamu perhatikan fatwa mereka selagi
hatimu tidak tenang dan mantap dengan fatwa tersebut).” (HR. Ahmad)
Para ulama umumnya mengatakan bahwa
hadits ini berlaku bagi orang yang hatinya selalu 'dibersihkan' dari
berbagai 'kotoran' dan 'karat', sehingga sangat sensitif dan cepat
menangkap jika ada unsur yang mengotorinya.
Dapat kita katakan bahwa talenta jiwa
yang terus diasah, akan dapat menjadi semacam 'starter' atau penggerak
awal bagi langkah-langkah kebaikan. Selain itu, kondisi jiwa yang
demikian juga dapat berfungsi sebagai 'alarm dini' bagi setiap keburukan
yang datang menghampiri. Situasi seperti ini jelas sangat kondusif bagi
sebuah proses dan jalan menuju takwa. Sebaliknya, jika talenta jiwa
tidak terasah dan tergali, diri seseorang akan bagaikan keranjang sampah
yang tidak lagi peduli, apa yang masuk ke dalamnya. Karenanya,
'kotoran-kotoran' tersebut akan sangat mudah menimbun keinginan baik
atau dorongan kebaikan yang kadang terlintas ada pada dirinya.
Musuh terbesar bagi upaya menggali
talenta jiwa adalah terjerumus dan hanyut dalam godaan kesenangan nafsu
duniawi yang tidak terkendali. Sering atas nama kesenangan dunia,
setitik demi setitik noda hitam kemaksiatan dia tanamkan dalam hatinya,
begitu seterusnya hingga akhirnya terbentuklah apa yang Allah katakan
sebagai 'Raan' yang menutupi hati (QS. Al-Muthaffifin: 14).
Akibatnya, dirinya tak berdaya untuk
mengenali kebaikan dan keburukan dalam kehidupannya, karena talentanya
sudah tertutup oleh kusamnya dosa dan gelapnya maksiat.
Kalau sudah begini, jangankan kebaikan
level tertinggi, level terendah pun, teramat berat dia laksanakan.
Sebaliknya, dia tidak merasa terpuaskan dengan kemaksiatan-kemaksiatan
'sepele' yang sudah akrab dilakukan tanpa beban dalam jiwanya, untuk
akhirnya merambah kepada maksiat 'stadium lanjut'.
Mengendalikan diri agar tidak mudah
tenggelam dalam kesenangan duniawi inilah yang menjadi salah satu nilai
besar dalam ibadah puasa yang diwajibkan di bulan Ramadan. Karenanya,
puasa memang memiliki kaitan yang sangat erat dengan takwa. Seberapa
besar peluang ketakwaan yang Allah jadikan sebagai tujuan puasa dapat
kita raih, sangat erat kaitannya dengan sejauh mana hakekat puasa itu
dapat kita serap dan kita maksimalkan.
Ramadan sudah di depan mata. Saatnya
kita mempersiapkan diri untuk kembali membersihkan karat dan kotoran
dalam jiwa. Karena di bulan ini Allah Ta'ala sediakan perangkat yang
lengkap untuk keperluan tersebut.
Mengharapkan kedatangan Ramadan dengan
motivasi seperti ini, semestinya akan memberikan nilai lebih bermakna
dan semangat yang berbeda. Insya Allah.
اللَّهُمَّ بَلِّغْنَا رَمَضَان وَوَفِّقْنَا فِيهِ، وَحَبِّبْ إِلَيْنَا اْلإِيْمَانَ ، وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوبِنَا ،
وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَاْلفُسُوقَ وَالْعِصْيَانِ
Ya Allah, pertemukan kami dengan bulan
Ramadan dan berilah kami taufiq di dalamnya. Berikan kami hati yang
cinta pada keimanan dan terhias olehnya, dan berikan pada hati kami
kebencian terhadap kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Aamiin..
Abdullah Haidir, Lc
Riyadh